NOBEL Fisika tahun 2003 diberikan kepada tiga orang, yakni Alexei Abrikosov dan Vitaly Ginzburg yang mengembangkan teori superkonduktivitas dan Anthony Leggett yang telah menjelaskan fenomena superfluiditas. Salah satu aplikasi superkonduktor adalah untuk teknik pencitra gema magnet (MRI), yang juga dianugerahi hadiah Nobel Kedokteran 2003.
SUPERKONDUKTOR adalah suatu material yang tidak memiliki hambatan di bawah suatu nilai suhu tertentu. Suatu superkonduktor dapat saja berupa suatu konduktor, semikonduktor, ataupun suatu insulator pada keadaan ruang. Suhu di mana terjadi perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktor disebut dengan temperatur kritis (Tc).
Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden tahun 1911. Pada tanggal 10 Juli 1908, Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan hingga 4 K atau -269°C. Kemudian pada tahun 1911, Onnes mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin.
Pada waktu itu telah diketahui bahwa hambatan suatu logam akan turun ketika didinginkan di bawah suhu ruang, akan tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak.
Beberapa ahli ilmuwan pada waktu itu, seperti William Kelvin, memperkirakan bahwa elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak. Ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut.
Untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi, Onnes kemudian mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat murni dan kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan suhunya. Pada suhu 4,2 K, Onnes terkejut ketika mendapatkan bahwa hambatannya tiba-tiba menjadi hilang. Onnes dianugerahi Nobel Fisika 1913 untuk karyanya.
Tipe superkonduktor
Teori pertama yang mencoba menjelaskan gejala superkonduktivitas adalah teori BCS (Bardeen, Cooper, dan Schrieffer). Mereka bertiga dianugerahi Nobel Fisika tahun 1972. Ketiga ilmuwan ini menjelaskan gejala superkonduktivitas dengan pasangan elektron (yang sering disebut pasangan Cooper).
Pasangan elektron bergerak sepanjang terowongan penarik yang dibentuk ion-ion logam yang bermuatan positif. Akibat dari adanya pembentukan pasangan dan tarikan ini arus listrik akan bergerak dengan merata dan superkonduktivitas akan terjadi. Superkonduktor yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor jenis pertama yang secara fisik ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala penolakan medan magnet luar (asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh superkonduktor. Bila kuat medannya melebihi batas kritis, gejala superkonduktivitasnya akan menghilang.
Selain superkonduktror jenis I, ada bahan superkonduktor yang tidak memperlihatkan efek Meissner. Superkonduktor seperti ini disebut superkonduktor jenis II. Perilaku fisik kedua superkonduktor dalam medan magnet diperlihatkan pada gambar 1.
Percobaan menunjukkan bahwa sifat superkonduktor jenis II tidak dapat dijelaskan dengan teori BCS. Abrisokov berhasil memformulasikan teori baru untuk menjelaskan superkonduktor jenis II ini. Ia mendasarkan teorinya pada kerapatan pasangan elektron yang dinyatakan dalam parameter keteraturan fungsi gelombang. Abrisokov dapat menunjukkan bahwa parameter tersebut dapat mendeskripsikan pusaran (vortices) dan bagaimana medan magnet dapat memenetrasi bahan sepanjang terowongan dalam pusaran-pusaran ini.
Lebih lanjut ia pun dengan secara mendetail dapat memprediksikan jumlah pusaran yang tumbuh seiring meningkatnya medan magnet. Teori ini merupakan terobosan dan masih digunakan dalam pengembangan dan analisis superkonduktor dan magnet.
Teori Abrisokov didasarkan atas teori yang diformulasikan oleh Ginzburg dan Landau, yang bertujuan untuk mendeskripsikan superkonduktivitas dan kuat medan magnet kritis. Pengetahuan tentang superkonduktor telah membuat berbagai revolusi dalam kehidupan, aplikasi yang populer antara lain dalam MRI (Nobel Kedokteran 2003) dan maglev (kereta super cepat).
Cairan bebas hambatan
Helium di alam ada sebagai dua isotop 4He dan 3He. Bila 4He didinginkan sampai kira-kira 4 K, gas helium akan berubah menjadi cairan. Kemudian bila didinginkan lebih lanjut di bawah 2,172 K, helium dapat merambat naik dengan bebas dalam kapiler tanpa hambatan.
Fenomena unik lain dari superfluiditas helium adalah konduktivitas termalnya yang tinggi. Gejala yang ditemukan oleh Pyotr Kapitsa di tahun 1930-an ini dengan segera mendapat penjelasan teori yang dikemukakan oleh Landau. Landau dianugerahi Nobel Fisika tahun 1962, sementara Kapitsa baru dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1978.
Superfluiditas pada 3He baru ditemukan pada tahun 1970 oleh David Lee, Douglas Osheroff, dan Robert Richardson (pemenang Nobel Fisika 1996). Gejala superfluiditas pada 3He terjadi pada suhu seribu kali lebih rendah daripada suhu superfluiditas 4He.
Anthony Leggett-lah yang pada tahun 1970-an menjelaskan teori superfluiditas 3He. Teori yang diformulasikan ini ternyata bermanfaat untuk menjelaskan gejala-gejala dalam fisika partikel dan kosmologi.
Sumber : Kompas
Jumat, 03 Desember 2010
Nobel Fisika 2003 : Teori Superkonduktivitas dan Superfluiditas
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar:
Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.
Komentar Anda sangat Kampoeng Bugis butuhkan untuk pengembangan kualitas blog Kampoeng Bugis ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.